Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Sulaiman Tanjung, menyuarakan keprihatinan atas apa yang ia nilai sebagai inkonsistensi sikap Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya. Sulaiman menuding Gus Yahya tidak menunjukkan keseriusan dalam memenuhi kesepakatan islah yang telah dicapai bersama para kiai.
Kritik ini dilontarkan Sulaiman Tanjung sebagai respons terhadap pernyataan Gus Yahya dalam acara peluncuran Badan Gizi Nasional (BGN) di Jawa Tengah pada Selasa (30/12/2025). Dalam acara tersebut, Gus Yahya menyebut Amin Said Husni sebagai Sekretaris Jenderal PBNU. Pernyataan ini, menurut Sulaiman, bertolak belakang dengan sikap Gus Yahya yang disampaikan usai pertemuan dengan Rais Aam PBNU.
Sebelumnya, Gus Yahya sempat menyatakan bahwa proses islah telah berjalan dan posisi Sekretaris Jenderal PBNU tetap dipegang oleh Saifullah Yusuf atau Gus Ipul. “Ini yang kami sayangkan. Keluar dari rumah Rais Aam menyampaikan pesan islah dan menyebut Sekjen kembali ke Gus Ipul. Tetapi dalam forum publik di Jawa Tengah justru menyebut nama lain. Ini menunjukkan ketidakkonsistenan sikap,” ujar Sulaiman Tanjung, Rabu (31/12/2025).
Sulaiman Tanjung menegaskan bahwa perbedaan pernyataan ini bukanlah masalah personal, melainkan menyangkut etika berorganisasi dan kesungguhan dalam menjaga kesepakatan. Ia menekankan bahwa dalam tradisi NU, islah bukan sekadar narasi di hadapan publik, melainkan sebuah komitmen moral yang harus tercermin dalam setiap tindakan.
“Kalau pernyataan berubah-ubah, publik tentu menilai bahwa tidak ada iktikad islah yang sungguh-sungguh. Padahal para kiai sudah berusaha keras meredakan situasi melalui berbagai pertemuan,” tegasnya.
Lebih lanjut, Sulaiman mengingatkan peran fundamental Rais Aam PBNU dalam tata kelola organisasi. Ia menyatakan bahwa setiap agenda besar jam’iyyah, termasuk penyelenggaraan muktamar, tidak dapat dilepaskan dari otoritas dan kepemimpinan Rais Aam.
“Muktamar itu tidak bisa diselenggarakan tanpa peran dan persetujuan Rais Aam. Karena itu, setiap langkah yang mengabaikan posisi Rais Aam sama saja dengan mengabaikan konstitusi dan tradisi NU,” katanya.
Ia berharap semua pihak dapat menahan diri, bersikap konsisten, dan menghormati struktur serta keputusan ulama. Hal ini penting demi menjaga persatuan dan marwah Nahdlatul Ulama sebagai rumah besar umat.






