Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo, menyampaikan serangkaian pesan penting di momen Hari Raya Natal 2025. Ia menyoroti isu-isu krusial seperti maraknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan dampak bencana alam yang melanda Indonesia. Khotbah Natalnya disampaikan di Gereja Katedral, Jakarta Pusat, pada Kamis (25/12/2025).
Bahaya Uang dan Ketidakadilan
Kardinal Suharyo mengutip pesan mendiang Paus Fransiskus mengenai ketidakadilan dan bahaya ketergantungan pada uang. Ia menekankan bahwa di era modern, banyak orang yang terluka karena teriakan mereka diredam oleh sikap acuh tak acuh para penguasa. “Di dalam dunia dewasa ini, betapa banyak luka yang ditanggung oleh orang-orang yang tidak mempunyai suara karena teriakan mereka diredam dan dibenamkan oleh sikap acuh tak acuh orang-orang yang berkuasa,” ungkap Suharyo mengutip Paus Fransiskus.
Lebih lanjut, Suharyo mengingatkan agar umat tidak menjadikan uang sebagai satu-satunya tolok ukur kebaikan dan kebahagiaan. Ia memperingatkan bahaya pola pikir yang menganggap kekayaan materi sebagai segalanya. “Janganlah jatuh ke dalam pola pikir yang mengerikan yang beranggapan bahwa kebaikan-kebahagiaan bergantung kepada uang, dan bahwa dibandingkan dengan uang semua yang lain tidak ada nilai dan martabatnya. Kekerasan yang ditimpakan kepada orang lain, lebih menumpuk kekayaan yang berlumuran darah tidak akan mampu membuat seorang pun tetap berkuasa dan tidak mati,” tegasnya.
Korupsi sebagai Dosa Berat
Dalam khotbahnya, Suharyo juga menyoroti korupsi sebagai dosa berat yang merusak masa depan. Ia mengutip Paus Fransiskus yang menyebut korupsi sebagai luka bernanah yang berteriak ke surga. “Luka-luka bernanah akibat korupsi merupakan dosa berat yang berteriak keras ke surga untuk mendapatkan pembalasan. Karena luka itu merongrong data-data kehidupan pribadi dan masyarakat,” tutur Suharyo.
Ia menambahkan bahwa keserakahan akibat korupsi menghancurkan harapan kaum lemah dan menginjak-injak kaum miskin. “Korupsi membuat kita tidak mampu melihat masa depan dengan penuh harapan, karena keserakahan yang zalim itu menghancurkan harapan-harapan kaum lemah dan menginjak-injak orang yang paling miskin di antara kaum miskin. Korupsi adalah skandal publik yang berat,” imbuhnya.
Seruan Pertobatan bagi Kepala Daerah yang Terjerat Korupsi
Menyikapi fenomena maraknya kepala daerah yang ditangkap KPK, Suharyo menyayangkan jabatan yang seharusnya digunakan untuk kebaikan bersama justru disalahgunakan. “Kalau sekarang kita membaca berita-berita, melihat televisi hari-hari ini, sudah sekian kali kita membaca berita bupati ini ditangkap KPK, gubernur itu, dan sebagainya. Ini kan artinya jabatannya tidak untuk mewujudkan kebaikan bersama, dia harus bertobat,” kata Suharyo.
Ia menekankan pentingnya mengubah pola pikir dalam memegang jabatan. Jabatan seharusnya diemban sebagai amanah untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi. “Siapa pun yang berada di dalam posisi, katakanlah, jabatan-jabatan suatu lembaga, kalau dia diberi kesempatan untuk menjabat, harapannya tidak menduduki jabatan. Jabatannya diduduki, kursinya diduduki, enak sekali duduk di kursi itu. Tetapi mengemban amanah,” jelasnya.
Suharyo juga mengingatkan kembali seruannya mengenai perlunya pertobatan nasional yang pernah ia sampaikan pasca kerusuhan di Jakarta pada Agustus lalu. Ia mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bertobat demi mengembalikan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. “Semua, mesti bertobat. Mengembalikan cita-cita kemerdekaan kita yang terumuskan dalam Pancasila, yang terumuskan di dalam Undang-Undang Pembukaan, Undang-Undang Dasar 45, itu pertobatan nasional. Tapi dasarnya adalah pertobatan batin, memuliakan Allah, dan membaktikan hidup bagi Tuhan,” ucapnya.
Fokus pada Pertobatan Ekologis di 2026
Perhatian khusus juga diberikan Suharyo terhadap kerusakan lingkungan yang memicu bencana di berbagai wilayah. Keuskupan Agung Jakarta akan menjadikan isu ini sebagai fokus utama pada tahun 2026, yang dikenal sebagai “pertobatan ekologis”. “Nah sekarang ini, yang sedang digalakkan, tahun depan, tahun 2026, Keuskupan Agung Jakarta memberi perhatian pada yang namanya tanggung jawab untuk menjaga lingkungan hidup. Maka ada yang namanya pertobatan ekologis, itu yang akan terus didengungkan,” kata Suharyo.
Konsep pertobatan ekologis mencakup berbagai tindakan nyata, sekecil apapun. Suharyo mencontohkan pengelolaan sampah makanan yang sering terbuang sia-sia dan penggunaan kantong belanja ramah lingkungan sebagai pengganti plastik. “Pertobatan ekologis itu isinya macam-macam yang pernah dilakukan, susahnya atau sayangnya itu sekarang dilupakan. Salah satu bentuk pertobatan ekologis, misalnya salah satu contoh kecil, atau, kalau saya biasanya makan kalau tidak enak dibuang, sampah makanan itu di Indonesia kan besar sekali,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa berbagai tindakan kecil tersebut merupakan bagian dari pertobatan yang menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia. “Macam-macam hal kecil seperti itu, salah satu bentuk pertobatan. Pertobatannya banyak sekali, bentuknya bisa macam-macam, menyangkut seluruh wilayah kehidupan manusia,” pungkasnya.






