Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) menyayangkan keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi izin tambang di Konawe Utara. Penghentian kasus yang merugikan negara hingga Rp 2,7 triliun ini dinilai sebagai catatan buruk bagi lembaga antirasuah.
KPK Didesak Lakukan Evaluasi
Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman, menyatakan bahwa penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus ini merupakan preseden buruk. Ia membandingkan dengan rekam jejak KPK sebelumnya yang selalu selektif dalam menaikkan sebuah perkara ke tahap penyidikan.
“Ini merupakan satu catatan prestasi buruk bagi KPK ketika KPK mengeluarkan SP3 dari zaman KPK didirikan itu KPK selalu selektif menetapkan sebuah perkara sampai di tahap penyidikan,” ujar Zaenur kepada wartawan, Minggu (28/12/2025).
Zaenur menekankan bahwa penghentian kasus ini seharusnya menjadi momentum bagi KPK untuk melakukan evaluasi internal. Ia mendorong KPK untuk lebih berhati-hati dan ketat dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka, dengan memastikan adanya alat bukti yang kuat.
“Apapun ini cerita ini harus menjadi evaluasi bagi KPK ya agar KPK yang pertama harus jauh lebih ketat ketika menetapkan seseorang sebagai tersangka,” tuturnya.
Lebih lanjut, Zaenur meminta KPK untuk tidak menangani perkara secara berlarut-larut dan segera menyelesaikan kasus-kasus yang sedang berjalan. Ia menekankan pentingnya kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat.
“KPK itu harus melakukan evaluasi penanganan setiap perkara ketika perkara itu sudah ulang tahun KPK tidak boleh menangani perkara berlarut-marut harus ada evaluasi agar setiap perkara benar-benar diselesaikan tepat waktu tidak berlarut-larut dijamin kepastian hukum,” tegasnya.
KPK Terbitkan SP3 Kasus Tambang
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mengonfirmasi penerbitan SP3 untuk kasus dugaan korupsi izin tambang yang terjadi pada tahun 2009. Menurutnya, penyidik tidak menemukan kecukupan bukti meskipun tersangka telah ditetapkan pada tahun 2017.
“Bahwa tempus perkaranya adalah 2009 dan setelah dilakukan pendalaman pada tahap penyidikan tidak ditemukan kecukupan bukti,” jelas Budi.
Ia menambahkan bahwa SP3 diterbitkan demi memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak terkait. KPK juga menyatakan tetap terbuka jika ada informasi baru yang relevan dengan kasus ini.
“Sehingga KPK menerbitkan SP3 untuk memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak terkait. Kami terbuka, jika masyarakat memiliki kebaruan informasi yang terkait dengan perkara ini untuk dapat menyampaikannya kepada KPK,” ungkapnya.
Penerbitan SP3 oleh KPK dimungkinkan setelah revisi Undang-Undang KPK pada tahun 2019, yang diatur dalam Pasal 40 UU Nomor 19 Tahun 2019. Kasus ini pertama kali diumumkan KPK pada 3 Oktober 2017, dengan penetapan tersangka mantan Bupati Konawe Utara, Aswad Sulaiman.
Kerugian Negara Capai Rp 2,7 Triliun
Wakil Ketua KPK periode 2017, Saut Situmorang, saat itu menyebutkan indikasi kerugian negara dari kasus ini mencapai sekurang-kurangnya Rp 2,7 triliun. Angka tersebut berasal dari penjualan produksi nikel yang diduga diperoleh melalui proses perizinan yang melawan hukum.
“Indikasi kerugian negara yang sekurang-kurangnya Rp 2,7 triliun yang berasal dari penjualan produksi nikel, yang diduga diperoleh dari proses perizinan yang melawan hukum,” ujar Saut.
Ia bahkan membandingkan kerugian kasus ini lebih besar dibandingkan dengan kasus korupsi e-KTP yang juga ditangani KPK.






