Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI melaporkan temuan mengejutkan mengenai paparan paham radikalisme terhadap anak-anak melalui platform media sosial dan permainan daring (game online). Selama tahun 2025, tercatat sebanyak 112 anak terpapar paham radikalisme.
Penangkapan Jaringan Terorisme dan Anak Teradikalisasi
Kepala BNPT, Eddy Hartono, memaparkan data ini dalam acara Pernyataan Pers Akhir Tahun BNPT di Jakarta Pusat pada Selasa (30/12/2025). Ia mengungkapkan bahwa aparat penegak hukum, khususnya Densus 88, telah berhasil menangkap beberapa jaringan terorisme dan simpatisan Ansharud Daulah yang terafiliasi dengan ISIS. Selain itu, teridentifikasi pula 112 anak yang teradikalisasi di media sosial.
“Kemudian, ini yang menarik, yang terakhir adalah sepanjang tahun 2025, ya, aparat penegak hukum, Densus 88 sudah menangkap beberapa jaringan terorisme maupun simpatisan Ansharud Daulah yang berkiblat kepada ISIS, dan juga 112 anak yang teradikalisasi di social media,” ujar Eddy Hartono.
Dampak Paparan Kekerasan di Media Sosial
Eddy menyoroti pengaruh negatif paparan radikal dari media sosial terhadap anak-anak. Ia memberikan contoh kasus ledakan bom di SMAN 72 Jakarta sebagai bukti nyata dampak kekerasan yang terekspos melalui media sosial, meskipun kasus tersebut tidak secara langsung terkait dengan terorisme.
“Ini menunjukkan bahwa baik itu social media maupun di game online, ya, ada beberapa peristiwa juga kemarin SMA 72 walaupun itu tidak terkait dengan terorisme, tapi mereka terpapar di social media, ya,” jelasnya.
Baiat Mandiri dan Algoritma Radikalisasi
Data menunjukkan 112 anak yang terpapar radikalisme berasal dari 26 provinsi. Fenomena yang mengkhawatirkan adalah adanya anak yang melakukan baiat mandiri sebelum bergabung dengan organisasi radikal. Eddy menjelaskan bahwa baiat mandiri merupakan tahap awal sebelum seseorang terlibat lebih jauh.
“Jadi 112 ini tersebar di 26 provinsi, ya. Kalau kita lihat hasil sementara, ya, bahwa bahkan di antara mereka ada yang baiat sendiri, baiat mandiri. Nah, kalau dilihat dari prosesnya, baiat mandiri ini adalah titik sebelum tahap awal, Pak. Artinya apa? Sebelum dia melaksanakan baiat mandiri, mereka masuk kepada tadi itu, Pak. Kalau istilah di dalam Komdigi itu teradikalisasi melalui algoritma,” terangnya.
Eddy merinci bagaimana algoritma media sosial berperan dalam meningkatkan paparan radikalisme. Proses ini dimulai dari interaksi anak dengan konten radikal, yang kemudian diperkuat melalui aktivitas seperti like, share, dan durasi menonton (watch time).
“Artinya anak-anak ini sebelumnya bagaimana dia sering mengakses, sering berinteraksi, ya. Kalau dari apa, pola engagement itu pertama tentang dari share dulu, atau dari like dulu. Like, kemudian share, kemudian watch time. Watch time itu durasi berapa lama dia melihat itu,” paparnya.
Tim Koordinasi Penanganan Radikalisme Anak
Menanggapi isu ini, BNPT telah membentuk tim koordinasi nasional untuk melindungi anak-anak dari paparan terorisme. Tim ini melibatkan berbagai kementerian dan lembaga, termasuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kementerian Sosial (Kemensos), dan Kementerian Agama (Kemenag).
“Ini juga kami juga sudah membentuk tim, ya, koordinasi nasional perlindungan anak terhadap anak menjadi korban terorisme. Di sini hadir Menteri PPPA, KPAI, ya, Kementerian Sosial, Kementerian Agama untuk menangani ini,” tutup Eddy.






